Iqra’ Jassin

Untuk membuktikan tidak ada terjemahan yang radikal dalam Bacaan Mulia sebagaimana dulu pernah dituliskan Peter G. Riddell dan beberapa intelektual lain, kita bisa membuktikan dari terjemahan wahyu pertama yang diturunkan kepada Muhammad: iqra’. Jassin menerjemahkan ayat pertama surat al-‘Alaq dengan tetap menggunakan frasa yang biasa digunakan oleh kebanyakan ahli tafsir dan penerjemah Alquran di Indonesia. Terjemah iqra’ yang dipertahankan dari masa ke masa semakin menyulitkan sebagian orang untuk mengerti kesejarahan juga makna mutakhir. Dari terjemah ke terjemah, dari generasi ke generasi, bahasa “bacalah” lebih diterima yang bisa kita duga sebagai bentuk kemudahan dalam penyebaran makna saja. Sejak kecil, terjemah ini diajar-hafalkan oleh Muslim di pengajian dan murid di sekolah. Bahkan, pernah dijadikan pertanyaan oleh guru saat murid duduk rapi jelang jam pulang. Murid yang berhasil menjawab cepat dan tepat, boleh pulang duluan. Akhirnya, sampai kita dewasa pun kelumrahan makna itu sulit memberi jejak maksud yang ingin dicapai dari makna iqra’.

Saat setiap terjemahan adalah tafsir, tentu pemilihan kata dalam bahasa terjemahan menjadi pertimbangan yang serius. Jassin pun pernah mengakui, penerjemahan tak bisa dilepaskan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang memungkinkan ada penyelarasan kata yang diambil dengan situasi yang berlangsung di Indonesia. Tapi penggunaan bahasa yang sama seperti dalam kasus iqra’ seolah menjelaskan penerjemahan tak lebih dari pengalihan satu bahasa ke bahasa yang lain tanpa pertimbangan politik bahasa yang ketat.

Penerjemahan yang sama juga dijumpai dalam tafsir Alquran oleh M. Quraish Shihab. Biasanya protes semacam ini akan ditanggapi dengan anjuran untuk membaca beberapa buku lain yang ditulisnya. Ada anggapan yang mengarah kita melakukan pembacaan tekstual. Padahal, yang kita persoalkan adalah politik bahasa yang termuat dalam terjemah. Jika memang ada kesadaran bahwa terjemah bisa membuat orang salah arti atas maksud yang disampaikan oleh penerjemah maka kerja menerjemahkan perlu diseriusi daripada mengajukan perintah untuk membaca tafsir dengan seribu rujukan!

Jassin memang berhasil dalam “mewajahkan” Alquran ke bentuk puisi tapi ketidakberanian Jassin untuk mengajukan terjemah lain meragukan kita pada pengakuan Ali Audah (1987) saat bercerita keakraban dirinya dengan H.B. Jassin. Dalam tulisan persembahan ulang tahun Jassin yang ke-70, Audah mengakui pertemanan dengan Jassin terjalin lama dan terjadi dalam beberapa organisasi yang diikuti selain keterlibatan di majalah Horison. Audah menyebut organisasi Konperensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) dan Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI). Audah menegaskan: “Selain dalam KKPI, lebih erat lagi saya bekerja sama dengan H.B. Jassin dalam HPI. Di luar dugaan, ia begitu setia kepada organisasi penerjemahan ini. Pada hampir setiap rapat HPI atau kegiatan-kegiatan lain yang diselenggarakan oleh HPI, Jassin hadir dan berpartisipasi penuh, di tengah-tengah kesibukan lain yang dihadapinya.”

Ketidakberanian Jassin juga mengingatkan kita pada tulisan Syed Farid Alatas (2017:111) dalam buku Ibn Khaldun: Biografi Intelektual dan Pemikiran Sang Pelopor Sosiologi. Berpijak pada keterangan Ibn Khaldun, Farid Alatas menulis: “Menurut skema klasifikasi ilmu (ashnâf al-‘ulûm) Ibn Khaldun, ada dua jenis ilmu pengetahuan yang dikembangkan dan diajarkan di kota-kota. Jenis pertama, ilmu pengetahuan yang bersifat alami bagi manusia, dan ini dipandu oleh kemampuan berpikir manusia. Ini adalah ilmu-ilmu filsafat (al-‘ulûm al-hikmiyyah al-falsafiyyah). Manusia mencapai ilmu pengetahuan jenis ini melalui kemampuan berpikir. Pertimbangan menyangkut masalah, argumentasi, dan metode muncul dari persepsi manusia. Jenis kedua, ilmu pengetahuan tradisional (al-‘ulûm al-naqliyyah) berasal dari otoritas agama. Ilmu pengetahuan dalam kategori ini bersumber dari otoritas pewahyuan. Meski ada peran kecerdasan manusia dalam ranah ilmu pengetahuan tradisional, tetapi ciri-ciri dasar mereka tidak akan berubah. Ada jenis ketiga yang diangkat oleh Ibnu Khaldun, yaitu ilmu pengetahuan magis (‘ulûm al-sihr wa al-thalismât), yang dilarang oleh hukum agama.”

Kita sudah mengerti biografi intelektual juga sumbangan Jassin dalam kesusastraan dan keislaman di Indonesia tapi berdasar pada kasus terjemah iqra’, kita mengerti dengan mengutip klasifikasi pengetahuan Khaldun ada batasan-batasan keilmuan tradisional yang masih melekat dalam terjemahan Jassin dengan melihat “ciri-ciri dasar” yang tidak berubah. Jassin belum secara heroik menerjemahkan iqra’ dengan bahasa yang lebih menantang seperti bahasa “telitilah”, “risetlah”, “imajinasikanlah” dan beberapa bahasa lain yang memberi peluang pembaca Alquran tidak cukup membaca untuk mencapai pahala tapi juga penafsiran dan pengertian yang mendalam. Iqra’ yang berbasis keaksaraan sebagaimana dilakoni Jassin juga ahli tafsir di Indonesia, bukan sebaliknya iqra’ dengan basis kelisanan.

Quraish Shihab (1997) dalam buku Lentera Hati menulis dua esai berjudul Perintah Membaca dan Dampak Bahan Bacaan. Dua esai menegaskan tidak adanya batasan dari makna yang dicakup dalam kata iqra’. Quraish Shihab juga mengajukan makna lain dari iqra’ selain membaca, ada menelaah, meneliti, menghimpun dengan objek alam raya atau bacaan tercetak seperti koran, majalah juga buku. Keterangan yang diajukan Quraish Shihab adalah makna iqra’ mutakhir yang melibatkan teknologi cetak dan riset ilmiah. Capaian dari makna iqra’ ini sebagaimana penjelasan lanjut dari Quraish Shihab untuk meniscayakan manusia sebagai “makhluk membaca” sebagaimana keniscayaan sebagai “makhluk sosial” dan “makhluk berpikir”.

Jassin telah menjadi pemula dan pionir penerjemahan Alquran puitis di Indonesia meski karyanya belum menjadi terjemahan otoritatif sebagaimana pengakuan dunia terhadap terjemah Alquran dalam bahasa Inggris karya Yusuf Ali. Permulaan Jassin menjadi sindiran keras terhadap ahli Alquran untuk melakukan kerja serupa bahkan mengembangkannya! Kita terus menunggu penyegaran dalam penerjemahan yang memadai untuk mewaikili pesan Allah dalam bahasa Indonesia.

Mutimmatun Nadhifah, Esais asal Sumenep

Terjemahan, Mushaf, dan Penguasa

“Sebenarnya tak ada bedanya. Kami hanya mengubah bentuknya saja. Soal isi, khat, ayat-ayat dan sebagainya menuruti Departemen Agama. Saya hanya membentuk puitisasi saja, sesuai Alquran yang indah bahasanya. Jadi cuma susunannya saja yang berbeda, karena Alquran merupakan satu kesatuan pikiran,” begitu jawaban Jassin tatkala wartawan Harian Terbit, Syahruddin Y.S mempertanyakan perbedaan antara bentuk puitisasi Alquran terjemahannya dengan Alquran yang sudah ada.

Dari jawaban tersebut, dapat disimpulkan bahwa ikhtiar Jassin menerjemahkan Alquranul Karim, sekali lagi, ingin memuliakan firman Tuhan yang mengandung nilai kebahasaan puitis tanpa kehendak mengubah atau menambahi teks asli Alquran seperti yang dituduhkan. Hanya saja memang dalam kepenulisan dia membutuhkan ruang dan halaman cukup banyak. Hal itu tampak dari gaya penulisan yang disusun secara simetris, yang tak lain karena pertimbangan makna dan untuk memudahkan pembaca dalam memahami makna dari bahasa terjemahan Alquran itu sendiri.

Tapi justru itulah juga yang jadi pemicu munculnya kecaman, tuduhan sampai polemik tak berkesudahan. Peter G. Riddell, dalam tulisan Menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam Bahasa-bahasa di Indonesia, menganggap unsur utama pemicu krisis yang merundung Alquranul Karim Bacaan Mulia bukanlah masalah bahasanya, melainkan sikap Jassin yang secara terbuka menentang sebuah dogma yang mapan tentang seberapa jauh penerjemah Alquran boleh menyimpang dari bentuk teks asli kitab suci itu demi mewujudkan gaya terjemahannya yaitu sebuah terjemahan puitis.

Akibatnya, Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia menolak terjemahan Jassin. Islah Gusmian dalam tulisan berjudul Kontroversi AL-Qur’an Berwajah Puisi Karya H.B Jassin: Studi Tentang Cara Penulisan dan Layout Mushhaf Al-Qur’an (2006), menyinggung alasan Depag dan MUI menolak kreasi Jassin lantaran “dianggap” bertentangan dengan mushaf Utsmani dan menimbulkan mudarat. Namun ia pun menyayangkan sikap Depag yang tidak mau menunjukkan secara detail mana yang bertentangan dengan mushaf Utsmani dan mana yang mencerminkan klaim mudarat. Akhirnya, larangan dan penolakan hasil terjemahan Jassin tersebut tidak mencerminkan sebuah fatwa ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.

Atas alasan tersebut, rentetan polemik juga semakin mencuat dan memuncak. Seperti yang termuat dalam Harian Terbit (Jumat, 22 Januari 1993) dinyatakan bahwa karya Jassin tak menyalahi kaidah mushaf Utsmani mulai dari susunan, kepenulisan (rasm) dan penggunaan khat. Tulisan yang berjudul Bentuk Puitisasi Al-Qur’an H.B Jassin tak Menyalahi Kaidah Mushaf Utsmani itu ditulis oleh D. Sirojuddin A. R. Ia menuturkan ungkapan seperti ini, “Jika kita berbicara Mushaf Utsmani secara menyeluruh, jelas Alquran yang beredar di Indonesia, terutama terbitan Depag, banyak tidak konsisten dengan Mushaf Utsmani.” Sirojuddin adalah seorang ahli kaligrafi Arab yang dimintai Jassin membantu menyusun bentuk puitisasi Alquran. Bahkan secara tegas ia menyatakan, dengan memberikan contoh soal penggunaan khat, bahwa Alquran yang beredar di Indonesia menggunakan khat Naskhi, sedangkan Mushaf Utsmani menggunakan khat Kufi.

Masih dalam topik yang serupa, Islah Gusmian justru menemukan perbedaan ihwal Jassin yang ternyata menggunakan dua standar penerjemahan yaitu standar mushaf Indonesia yang ditetapkan oleh Depag dan standar mushaf pemerintah Arab Saudi khususnya yang diterbitkan oleh penerbit Darul Qalam Mesir. Jadi dalam hal ini kita tak lantas bisa menuduh Jassin tak menggunakan kaidah Mushaf Utsmani. Apalagi cita-cita Jassin yang sungguh mulia tersebut juga memungkinkan keberpihakan ide yang bisa saja ia munculkan dari dirinya sebagai penerjemah.

Bahkan apabila kita hendak merujuk buku Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia (2013) yang diterbitkan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, kriteria atau standar yang ditetapkan hanya berkutat pada rasm (kepenulisan), harakat, tanda baca dan tanda waqaf sesuai dengan kronologi perjalanan Muker Ulama Alquran dari tahun 1974 sampai 1984, tanpa menyinggung persoalan khat yang digunakan dalam pedoman penyusunan penerjemahan Al-Qur’an dan Terjemahnya maupun terjemahan lain terbitan Depag seperti yang dilontarkan Sirojuddin di atas.

Maka, betapapun banyak cercaan atas terjemahan Jassin, toh Al-Qur’an dan Terjemahnya maupun terjemahan lainnya yang diterbitkan Depag dapat memungkinkan adanya campur tangan dari otoritas penerjemah, ulama dan lembaga penerbitan yang menaungi. Latar belakang dari golongan tradisionalis atau dari golongan reformis, kapasitas keilmuan yang berbeda di setiap pergantian masa jabatan pemimpin suatu lembaga jelas memiliki pengaruh dalam pengambilan kebijakan dan menetapkan aturan penerjemahan Alquran. Yakin, kita tidaklah bisa menampik hal itu. Untuk lebih dalam menyimaknya, kita bisa membaca tulisan Moch. Nur Ichwan, berjudul Negara, Kitab Suci dan Politik Terjemahan Resmi Al-Qur’an di Indonesia yang terhimpun dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (2009) yang mengulas pengaruh ideologi politik dalam penerjemahan Al-Qur’an dan Terjemahnya.

Isvita Septi Wulandari, Esais asal Sukoharjo

 

 

Persepsi Puisi dan Kitab Suci

Awal mula puisi adalah kitab suci. Dalam sejarah manusia beragama, perlahan kitab suci terlanjur diposisikan sebagai kitab hukum yang menyerukan perintah dan memekikkan larangan. Bukan kitab jiwa manusia. Hingga akhirnya kitab suci bukan referensi pasti kehadiran puisi. Dan kita menerimanya.

Di Indonesia, kita belum mempunyai penyair agung Muslim yang bahasanya sebanding atau sedikit menyamai bahasa puisi Alquran. Apalagi dalam kasus perpusian modern, Eropa atau Amerika (sesekali dari kawasan Asia) tampak lebih berterima sebagai rujukan dengan selingan puisi tradisi klasik daripada kitab suci. Padahal, dalam tulisan berjudul Sastra Profetik: Relevansi dan Jejaknya dalam Karya Modern, Abdul Hadi (2004:1) menulis: “….yang akan saya sebut sebagai ‘semangat profetik’ apabila diteliti memang penting untuk dikaji. Ia merupakan segi yang sentral, pusat bertemunya dimensi sosial dan transendental di dalam penciptaan karya sastra. Dimensi sosial menunjuk pada kehidupan kemanusiaan kita yang bersifat profan, dan dimensi transendental menunjuk pada tujuan kehidupan yang lebih tinggi, yang berpuncak pada Yang Gaib di atas sana.”

Abdul Hadi di esai yang sama meneruskan tulisannya dengan mengajukan sekian banyak sastra-sastra profetik dunia dan Indonesia. Dengan fasih Abdul Hadi mengajukan nama-nama Goethe, Dostoyevski, Jalaluddin Rumi, Mohammad Iqbal, T.S. Eliot, Frederich Hoelderlin yang memberi ketenangan rohani bagi umat modern dengan puisi. Di Indonesia, puisi Amir Hamzah berjudul Padamu Jua dijelaskan Abdul Hadi mengambil sumber dari Alquran Surat Al-Hasyr (Berkumpul/Pengumpulan) ayat 19. Ayat ini diterjemahkan Mahmud Yunus: janganlah kamu seperti orangorang yang melupakan Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang pasik.

Puisi Hamzah untuk mengenali Tuhan sebagai pencipta semesta sebelum mengenali diri bertaut dengan kalimat-kalimat yang ada di kitab suci.“Di sinilah pangkal kekusutan filsafat-filsafat modern, yang begitu antusias mengajak manusia kembali kepada dirinya, namun justru manusia kian dijauhkan dari dirinya, atau tepatnya jati dirinya, sehingga problem keterasingan manusia modern dari dirinya juga menjadi tanggung jawabnya. Bagaimana mungkin manusia mengenal jati dirinya tanpa manusia itu memiliki kesadaran semesta kesadaran akan asal usul kerohaniannya?” tegas Abdul Hadi. Dan kitab suci adalah rumah kembali para penyair.

Ulasan Abdul Hadi mengingatkan kita terhadap kerja awal Jassin menerjemahkan Alquran. Dari asmara, Jassin bergerak pada narasi keilmuan yang tak biasa. Selain membaca terjemahan-terjemahan Alquran sebelumnya, kerja menerjemahkan memuat sekian pertimbangan serius dari keserasian irama, keindahan bunyi, efektivitas bahasa sampai keakraban diri dengan kamus bahasa Indonesia. Jassin (1975) mengakui, “jelaslah bahwa untuk mendapatkan terjemahan yang puitis efektif diperlukan pembendaharaan kata yang luas untuk memungkinkan mencari kata-kata sinonim yang lebih merdu bunyinya atau yang jumlah suku katanya memungkinkan irama yang lebih harmonis dalam hubungan kandungan makna.” Ini adalah kerja bahasa seorang penyair, bukan seorang yang berpretensi sebagai ahli hukum.

Kerja penerjemahan puitis Alquran dianggap sebagian orang sebagai bentuk pemuliaan tapi pihak lain menganggap sebagai penghinaan terhadap kitab suci. Kaum penolak merasa keberatan dengan penggunaan bahasa “puisi” pada penerbitan Alquran Berwajah Puisi (ABP) sebagai kelanjutan dari Alquran Bacaan Mulia (ABM). Menurut mereka, bahasa Alquran itu sudah sangat puitis tapi Jassin sebagaimana tuduhan mereka nekat dan ingin mewajahkan Alquran dalam bentuk puisi lain. Padahal, sebagaimana cerita D. Sirojuddin A.R, penulis dan penyusun ABP dan ABM pada tahun 1993, Jassin begitu sangat antusias saat mengetahui tak ada teks agama yang melarang model penerjemahan sebagaimana dikehendakinya. Jassin dalam kutipan Sirojuddin berkata pada suatu waktu: “Allah telah menciptakan kalam-Nya sedemikian puitis, mengapa kita tidak boleh menikmati keindahan gaya puisinya?”

Sekali lagi, Jassin hanya ingin memuliakan Alquran dengan sepenuh mulia. Jassin bisa kita sebut masuk dalam pencapaian tokoh di novel Dostoyevski berjudul Karamazov Bersaudara yang dinilai sebagai pencapaian religiusitas tertinggi: “Semua kekecewaan dahsyat menjadi nasibku, tapi tetap aku akan merangkul kehidupan dengan penuh cinta… sering aku bertanya-tanya benarkah di dunia ini ditemui putus asa yang lebih kuat dari kehausan akan hidup yang tak tahu diri ini? Barangkali memang tidakAku mau hidup dan memang hidup, meskipun menantang logika mana pun.” Dan kita pun sadar: yang lebih mendekat pada Tuhan adalah bahasa penyair, bukan bahasa penghukum.

Mutimmatun Nadhifah, Esais asal Sumenep

Kepuitisan Jassin dan Dipo

Menerjemahkan kitab suci al-Qur’an berbahasa Arab ialah usaha mengetahui isi kandungan kitab sebagai pedoman dan petunjuk hidup yang telah diyakini. Maka, kerja penerjamahan mesti dapat menjelaskan makna yang akan mudah terpahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Upaya penerjemahan pada akhirnya dilakukan oleh banyak pihak.

Seperti disinggung Jassin dalam tulisan di majalah Budadja Djaja Nomor 90 Tahun Kedelapan November 1975, terjemahan Qur’an dalam bahasa Indonesia yang telah terbit di Indonesia di antaranya Qur’an Karim karya Mahmud Yunus (1938), Al-Furqan karya A. Hassan (1953) dan Al-Qur’an dan terjemahannya (1970) oleh Departemen Agama Republik Indonesia dan sebagainya. Ia pun berkata, “Semua terjemahan itu ditulis dalam bahasa prosa, hal mana tiada mengherankan karena yang dipentingkan oleh para penterjemah yang pada umumnya adalah guru-guru agama, ialah isi kandungan Kitab Suci itu. Juga disebabkan karena Qur’an sendiri secara visuil disusun sebagai prosa, meskipun sebenarnya bahasanya sangat puitis dan ayat-ayatnya dapat disusun sebagai puisi dalam pengertian sastra”.

Al-Qur’an memiliki nilai sastra yang perlu digali lebih dalam menjadi bentuk puisi. Penerjemah mesti mencari padanan atau sinonim kata dalam menerjemahkan tanpa sedikit pun mengubah atau mengurangi makna esensi yang terkandung. Maka tak lantas menjadi masalah saat kehendak mempuitisasikan Al-Qur’an dilakukan. Bahkan sebelum terbitnya terjemahan Alquranul Karim Bacaan Mulia, telah banyak para penyair yang mempuitisasikan terjemahan ayat-ayat Qur’an, seperti yang mula-mula telah dilakukan oleh Diponegoro, Syu’bah Asa, Ali Audah, Taufik Ismail, Ajip Rosidi dan lain-lain.

Pengakuan serupa juga dirasakan oleh Syu’bah Asa. Ia mengatakan bahwa terjemah Qur’an dengan berpegang pada puisi memang lebih indah dari yang tak mempertimbangkan unsur sastra. “Tetapi dalam hal ini harus juga dipertimbangkan Tafsir Al-Azhar Hamka, yang meskipun tidak bermaksud mengangkut secara maksimal keindahan sastra Qur’an tetapi membuktikan penulisnya memang selalu bagus dan jernih bahasanya” (Tempo, 5 Agustus 1978).

Syu’bah dalam tulisan berjudul Perbandingan Dua Terjemah itu menyajikan hasil terjemahan Jassin dan Mohammad Diponegoro. Ia membandingkan dengan mengambil salah satu hasil terjemahan puitis dari mereka dan memberi penilaian dengan mengulasnya dilihat dari penempatan dan pemakaian kata yang mereka gunakan, seperti Dipo yang  menggunakan kata bida-bida untuk menyebut gadis. Sekali lagi syu’bah hanya menyoroti kata yang dipakai oleh mereka. Sekali pun dapat dilihat dengan jelas, terjemahan Jassin lebih banyak membutuhkan ruang daripada Dipo yang tampak dari jumlah baris pada terjemahan di bawah ini. Namun, merekalah satrawan yang telah menengok betapa indah puitisasi al-Qur’an. Simaklah hasil terjemahan Jassin dan Dipo pada surat An-Naba berikut ini dan Anda boleh memberikan penilaian lebih lanjut:

Jassin: Sungguh, bagi orang yang takwa ada

tempat yang aman dan bahagia,

Kebun-kebun dan pohon anggur,

Gadis-gadis sebaya dengan buah dada

yang mekar

Dan piala penuh (berisi minuman)

Mereka tiada mendengar omongan

Kosong dan kebohongan di sana.

Dipo: Para pematuh patuh yang akan menuai

hasil

Taman-taman dan kebun anggur

Dan bida-bida muda sepadan

Dan piala kaca penuh minuman

Mereka tak mendengar omongkosong

atau dusta

Isvita Septi Wulandari, Esais asal Sukoharjo

Menjawab Ritme

“Seperti dikatakan Nabi dahulu, Qur’an adalah kitab ‘yang tidak pernah membosankan dibaca’—dan selalu cenderung disuarakan. Ketidaksamaan bentuk berbagai ayat itu sendiri telah menimbulkan ritme—yang menyebabkan isi yang sama akan terletak dalam konteks ‘suasana dalam’ yang berbeda-beda, dan itulah salah satu sumber kenikmatan.”

Kutipan dicomot dari tulisan Syu’ab Asa di majalah Tempo, 8 Agustus 1978. Pikiran terpenting berkaitan dengan suara, nada, atau ritme yang sering muncul dalam pembacaan Alquran. Masalah pun muncul, tatkala terjemahan puitis Alquranul Karim Bacaan Mulia garapan Jassin dianggap Syu’ab tak menimbulkan ritme. Terjemahan Jassin yang mengambil satu pola itu dirasanya monoton dan lebih enak dibaca diam-diam (berbisik) daripada disuarakan dengan keras.

Pengalaman membaca Alquranul Karim Bacaan Mulia oleh Syu’ab itu adalah “akibat”. Ia pun lekas mencari “sebab”. Catatan proses kreatif penerjemahan Jassin didaulat menjadi sumber pencarian “sebab”. Kerja penerjemahan Jassin yang berlangsung dalam waktu dua tahun dianggapnya terlalu singkat. Waktu dinilai jadi biang keladi, membuat Jassin tak sempat memperhitungkan persoalan ritme dalam Alquran.

Kita pun berhak tak sepaham dengan Syu’ab. Tulisan-tulisan dalam bentuk apapun, saat dibaca sering terdengar bernada, berirama, atau beritmis. Suara bacaan itu terkadang bernada tinggi, rendah, atau sedang. Maka boleh jadi, ritmis atau tidaknya suatu pembacaan tergantung pada pembacanya. Toh, pembacaan Alquran dari pelbagai orang yang berbeda juga memunculkan nada atau lagu yang berbeda pula. Maka pada akhirnya pun membaca keras terjemahan Jassin juga pasti menimbulkan ritme.

Dulu kita sering mendengar pepatah “ada seribu jalan menuju Roma”, barangkali ada seribu jalan pula bagi umat untuk mengimani firman-firman Tuhan. Maka, tak usahlah kita malu-malu membaca Alquranul Karim Bacaan Mulia dengan cara berbisik. Mari kita buka dan baca dengan keras, agar orang lain juga ikut merasakan kebaikannya! Satu… dua… tiga…

Isvita Septi Wulandari, Esais asal Sukoharjo

Membaca Alquran dari Kiri

H.B. Jassin tak terima terhadap protes tokoh-tokoh perihal membuka mushaf Alquran dari kiri. Dalam wawancara di Republika pada tanggal 24 Januari 1993, Jassin menanggapi dengan garang: “Saya kira tidak apa-apa. Membuka buku dari kiri ke kanan, biasa. Mereka maunya dari kanan ke kiri. Itu tidak esensial. Kalau tak boleh begitu, dalilnya apa. Hukumnya apa. Di surat itu dikatakan, lebih baik disesuaikan dengan al Quran yang ada. Kalau begitu, lalu apa yang saya berikan. Berarti saya disuruh stop, saya tak mau. Saya yakin, saya menjunjung ketinggian firman Tuhan”.

Pembaca tentu bisa merasakan emosionalitas bahasa yang diajukan Jassin. Semula Jassin ingin berargumentasi kenapa Alqur’anul Karim Bacaan Mulia dibuka dari kiri bukan dari kanan layaknya mushaf Alquran lain. Tapi, Jassin harus menyisipkan bahasa “berarti saya disuruh stop, saya tak mau”. Bahasa-bahasa ngotot itu selalu bermunculan di tema lain saat Jassin merespons balik pendapat-pendapat tokoh yang menolak-menghujat kerjanya. Jassin pun tampak tak tenang. Padahal kita merasa cukup dengan argumentasi Jassin, membuka Alquran dari kiri itu berpedoman pada terjemah Alquran versi Departemen Agama. Jadi, pemerintah sebagai referensi hadir merestui membuka-membaca Alquran dari kiri. Sah!

Quraish Shihab di antara sekian yang menanggapi tidak lagi meributkan wilayah ketuhanan. Seperti dalam tulisannya yang mendamaikan, Quraish Shihab menulis dalam kesejarahan masyarakat Arab sebagai penerima pertama Alquran, “al Qur’an diterima Nabi tidak tertulis, ayat-ayatnya dicampakkan ke dalam jiwa beliau, lalu secara lisan beliau sampaikan sambil memerintahkan menulis dan menghafalnya. “Kebetulan” masyarakat pertama yang bersentuhan dengan al Quran, menggunakan aksara, yang ditulis dari kanan ke kiri”.

Quraish Shihab melanjutkan tulisannya dengan menghadirkan beberapa penjelasan dalam Alquran perihal kanan sebagai simbol kebaikan dan sebaliknya kiri sebagai simbol kesialan. Menurutnya, keterangan ini lazim digunakan ulama untuk melakukan klaim kebenaran dan keberuntungan kanan. Tulisan Quraish Shihab (Republika, 28 Januari 1993) mengingatkan kita saat Alquran ditulis dengan tangan dan keilmuan manusia. Penulisan dan penyusunan yang murni terpisah dari yang biasa disebut sebagai ketetapan Tuhan.

Orang-orang telanjur menghujat Jassin dengan berdalih kiri itu membawa sial. Seperti klaim kebanyakan, Alqur’anul Karim Bacaan Mulia “lebih banyak mudlaratnya” daripada manfaatnya.  Membuka-membaca Alquran dari kiri ke kanan seperti kasus Jassin bukan lagi sebagai narasi ideologi kiri juga kanan. Kita tidak perlu membakar Alqur’anul Karim Bacaan Mulia lagi seperti dulu dilakukan sebagian orang. Kita pantas mengurusi yang lain, tawaran membuka-membaca Alquran dari kiri ke kanan mengantarkan kita pada narasi besar perihal kesejarahan peralihan dan kesadaran beraksara Muslim modern: dari aksara Arab ke aksara Latin.

Mutimmatun Nadhifah, Esais asal Sumenep

Menyurati Bacaan Mulia

“Menyetop penyiaran dan penerbitan karya saudara atas kemauan saudara sendiri, bukan karena desakan badan-badan lain, membuktikan kebesaran jiwa saudara dan kejujuran saudara dalam menegakkan kesucian Alquran.” Begitu pesan H. Oemar Bakry Dt. Tan Besar sebelum menuliskan kalimat penutup pada suratnya yang ditujukan kepada H.B. Jassin. Beberapa surat yang ditulis H. Oemar Bakry untuk Jassin dapat ditemukan dalam buku Polemik H. Oemar Bakry dengan H.B Jassin tentang Al-Quranul Karim Bacaan Mulia (1979) terbitan Mutiara, Jakarta.

Surat yang dikirim H. Oemar Bakry berisi keraguan sekaligus ketidaksepakatan pada kerja terjemahan Alquranul Karim yang dilakukan Jassin. Dengan pertimbangan, sekali lagi, Jassin tidak memiliki bekal persyaratan yang semestinya ia miliki untuk kerja penerjemahan Alquran. Simaklah berikut ini: “Sejauh yang saya dengar yang sudah mantap pada saudara ialah penguasaan bahasa Indonesia, dua syarat yang lain belum saudara kuasai, sesuai dengan bunyi surat Buya Hamka kepada saya “Yang besar kemungkinan ialah bahwa ilmu pengetahuannya kurang tentang Islam”. Keraguan dan ketidaksepakatan belum tamat.

H. Oemar Bakry menyambungnya pada surat bertanggal 5 dan 20 Desember 1978 yang mengungkapkan perihal Jassin belum menguasai bahasa Arab yang memadai dan jalan pikiran Jassin yang justru mengikuti kaum orientalis. Kedua surat tersebut dikirimkan hanya berselang waktu dua minggu. Pembaca pun bisa merasakan bahwa dalam setiap surat yang H. Oemar Bakry kirimkan, terasa ada semacam desakan agar Jassin segara menanggapinya. Apalagi H. Oemar Bakry juga mengingatkan Jassin bahwa akan segera terbit buku polemik antara keduanya.

Pun protes, penolakan semacam itu tak hanya dilakukan H. Oemar Bakry. Kita bisa menemukan beberapa surat yang telah dikumpulkan Jassin dalam buku Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi (1995). Buku membuktikan ketekunan dirinya dalam kerja pengklipingan dan pendokumentasian meski data berisi hal-hal negatif tentang Jassin. Kerja ini juga membuktikan Jassin sangat menerima kritikan dan masukan terkait terjemahan Alquranul Karim Bacaan Mulia sebagai bahan perbaikan nantinya yang dapat dilakukan Jassin.

Selain muncul penolakan berupa kritik dan tuduhan seperti yang diungkapkan H. Oemar Bakry dan Nazwar Syamsu, Jassin juga menerima tanggapan positif berupa dukungan, pujian terhadap hasil karya tersebut. Di antaranya datang dari Amien Rais, Ali Audah, Motinggo Busye, A. Baiquni, Taufik Abdullah, Harian Singgalang dan masih banyak lagi. Simaklah surat dari Taufik Abdullah kepada Jassin, 28 Desember 1992: “Saya bukan ahli fikih yang bisa mengatakan “haram” dan “halal”, tetapi common sense saya, yang saya kira cukup religius juga, bisa mengatakan bahwa apa yang Pak Jassin lakukan adalah hal baik dan mulia.”

Surat-surat yang terus beterbangan tak menghentikan geliat Jassin untuk terus mencetak ulang terjemahan Alquanul Karim. Sebab bagi Jassin, kerja menerjemahkan ini adalah bukti bahwa ia menjunjung tinggi kemuliaan dan keagungan firman-firman Tuhan.

Isvita Septi Wulandari, Esais asal Sukoharjo

Bahasa Arab dan Hans

“Hans Bague Jassin bukan keluaran pesantren, bukan kiai, bukan ustaz dan bukan ulama. Dari mana ia dapat pengetahuan untuk mengerjakan terjemahan kitab suci Alquran. Sedangkan pengetahuan agama sedikit, demikian juga pengetahuan bahasa Arab. Bahkan sekalipun Hans diuji kemampuannya ia pasti kurang kemampuannya, harusnya ia tinggal dulu di negeri Arab selama dua puluh tahun untuk memperdalam bahasa Arabnya atau sekolah lagi di Universitas Al-Ahzar Kairo selama lima tahun, barulah ia berhak menerjemahkan Alquran,” begitulah kritikan dari kawan-kawan Hans yang tidak setuju dengan usaha Hans menerjemahkan Alquranul Karim dimuat dalam buku Antara Imajinasi dan Hukum (1986) garapan Darsjaf Rahman.

Kritikan tersebut disematkan Hans takkala ia sudah mulai menerjemahkan Alquranul Karim di negeri Belanda tahun 1972. Tepat saat di Belanda ia memberitahukan kegiatannya kepada teman-temannya di tanah air. Mesakke! Hans disuruh kawannya ke negeri Arab terlebih dahulu selama dua puluh tahun untuk belajar bahasa Arab. Tentu itu mustahil dan kalau toh itu dilakukan Hans sekembalinya ke tanah air ia bakal tak jadi menerjemahkan Alquran. Hans pasti memilih menetap di Arab menikmati padang pasir dan unta-unta. Namun kritikan terkait kemampuan berbahasa Arabnya itu pun langsung ditanggapi oleh Hans dalam tulisannya di koran Kompas (8 Novemver 1978) kala mulai dilakukannya penerbitan terjemahan Alquranul Karim Bacaan Mulia.

Dalam tulisannya Hans menegaskan, “Saya menterjemahkan Alquran dengan bertolak dari induknya yaitu Alquran dan bahasa Arab. -Apakah saya tahu bahasa Arab? – saya pernah mempelajari bahasa Arab di bawah bimbingan almarhum A.S. Alatas dan Profesor Husein Djajadiningrat-semoga dilapangkan Tuhan arwah mereka- ketika saya belajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Buku gramatika yang dipergunakan ialah Arabic Gramar karangan G.W. Thatcher, serta sebagai latihan diterjemahkan bersama Al-Jawahiru’l-Kalamiyah karangan Syaikh Thahir bin Saleh Al-Jazairi dan atas inisiatif sendiri saya mengerjakan latihan yang ada dalam buku Thatcher dan buku A.S Tritton, Teach Yourself Arabic.”

Lhoo! Hans ternyata telah belajar bahasa Arab. Bahkan Hans mengatakan sekali lagi bahwa ia dalam mempelajari isi Alquran lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Ia pun telah mempelajari pelbagai terjemahan Alquran dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, juga mempergunakan berbagai kamus bahasa Arab saat penggarapannya. Kita dapat menyimak dalam daftar pustaka Bacaan Mulia yang tentu saja bukan sekadar untuk pameran. “Menjadi gambaran keliru tatkala saya dikatakan menterjemahkan hanya dari satu terjemahan saja atau dari beberapa terjemahan dalam bahasa asing tanpa mengenal bahasa Arab sama sekali,” kata Hans. Apa kita masih keliru mengenal Hans?

Isvita Septi Wulandari, Esais dari Sukoharjo

Di Sekitar Polemik Penyusunan Bacaan Mulia

“Wahyu Ilahi itu penuntun manusia. Kitab suci itu harus dipelihara dan jangan dipermainkan. Silakan kalau H.B. Jassin ingin berdialog. Tapi, kita sudah punya prinsip sendiri. Paling tidak, kita nasihati agar dia mau kembali ke jalan yang wajar.” Inilah pernyataan K.H. Hasan Basri, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam wawancaranya dengan wartawan Wawasan pada hari Selasa, 26 Januari 1993. Berita ini terkumpul dalam buku yang disusun H.B. Jassin, berjudul Kontroversi Alquran Berwajah Puisi diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti Jakarta pada tahun 1995.

Komentar K.H. Hasan Basri ditujukan pada upaya penyusunan mushaf Alquran H.B. Jassin dengan gaya simetris puitis. Gaya yang dipilih Jassin dianggap tidak mematuhi standar yang telah dipilih Departemen Agama Indonesia dalam penyusunan mushaf Alquran: Mushaf Ustmani. Mushaf Utsmani dianggap sebagai gaya penulisan yang paling memadai bahkan dalam berita yang sama, K.H. Makruf Amin juga menjelaskan, “Cara-cara penulisan Alquran itu merupakan petunjuk langsung Tuhan sebagaimana juga cara-cara membacanya”.

Bagi Jassin, mengubah gaya penyusunan Alquran dan terjemahannya dengan gaya simetris adalah kerja memuliakan firman Tuhan. Dalam sebuah wawancara di koran Republika, 24 Januari 1993, Jassin mengakui penyusunan baru yang dipelajarinya selama 10 tahun 7 bulan tidak menghilangkan keutuhan firman Tuhan. Penulisan sebagaimana keterangan Jassin tetap mengikuti mushaf Alquran yang dikeluarkan Departemen Agama, penyusunannya saja yang berbeda. Penyusunan ala Jassin menjadi tawaran visualitas Alquran yang baru baik secara fisik maupun maknawi. Jassin mengakui penyusunan Alquran dengan puitis akan memudahkan orang menghafal atau menyerap kandungan maknanya.

Keberanian Jassin mengajukan kerjanya ke MUI atau Depag membuktikan Jassin tidak egois. Jassin tak hanya butuh dukungan tapi juga pengakuan secara kelembagaan dan sumbangan koreksi dari berbagai pihak. Sebagaimana pengakuannya, “Sekarang ini, saya sedang menampung saran sebanyak-banyaknya. Tapi jika alasannya tidak masuk akal atau tidak mendasar saya akan jalan terus. Saya memang tak ingin jalan sendiri. Untuk itulah saya minta banyak pertimbangan. Tapi kalau disuruh berhenti, saya tak mau. Dimasukkan ke penjara sekali pun, saya siap”.

Mereka yang tidak sepakat mendasarkan seluruh pendapatnya pada argumentasi penulisan Alquran seluruhnya murni petunjuk Allah dan mengabaikan kerja-kerja manusiawi. Padahal, secara historis penyusunan Mushaf Utsmani yang menjadi standar umum penulisan Alquran termasuk di Indonesia adalah murni kerja pemikiran manusia. Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie dan Ulil Abshar-Abdalla (2009) menjelaskan kebingungan panitia penyusunan mushaf Alquran yang diketuai Utsman. Panitia menghadapi masalah dalam tanda baca aksara Arab (medium kalimat-kalimat Alquran) sebagai penjelas bunyi kata juga makna.

Sistem tanda baca baru ditemukan pada masa berikutnya tepatnya pada masa Dinasti Umayah. Penemuan ini menjelaskan penulisan Alquran adalah wilayah pemikiran manusia. Peristiwa-peristiwa di masa lalu menjadi referensi H.B. Jassin untuk menyusun Alquran dengan gaya simetris. Penyusunan Alquran versi Jassin disebut gaya penyusunan Alquran pertama di dunia karena gaya penyusunan selama ini berbentuk prosa. Jassin nekat, penyusunan Alquran tidak bisa bersifat mutlak sebagaimana cara menafsirkannya!

Mutimmatun Nadhifah, Esais asal Sumenep

Sengketa “Istilah” Bacaan Mulia

Pencapaian Jassin atas terjemahan Alquran Bacaan Mulia (1988) hingga tercetak 35.000 eksemplar patut diapresiasi. Laris tapi menimbulkan pelbagai reaksi berupa tanggapan, kritik dan tudingan bertubi-tubi yang datang dari kalangan umat muslim. Mulai dari tudingan Jassin tidak mempunyai ilmu terkait penerjemahan Alquran, sampai hal-hal seperti penggunaan istilah untuk judul terjemahan Alquranul Karim, yaitu “Bacaan Mulia”.

Sebagaimana telah disinggung Nazwar Syamsu dalam buku Koreksi Terjemahan Bacaan Mulia HB Jassin (1978) terbitan Pustaka Saadiyah, Padang Panjang, tertulis pokok kalimat seperti berikut ini: “Jassin dalam menterjemahkan ‘Alquranul Karim’ itu dengan ‘Bacaan Mulia’ sebagai nama yang diberikannya kepada terjemahan yang puitis. Terjemahan demikian nyata tidak cocok dengan maksud istilah asli maka dalam hal ini kita melihat dua hal salah pasang yang mungkin menimbulkan berbagai akibat. Pertama, Alquranul Karim adalah istilah asli sebagai kitab suci dari Allah, dan tak mungkin diterjemahkan ke dalam bahasa lainnya secara tepat”.

Kedua, Alquran adalah suatu nama yang telah resmi dikenal di antara manusia bumi, maka nama itupun tidak boleh dipotong atau dikurangi hurufnya menjadi Quran apalagi berupa Kuran dan Koran. Misalnya terdapat dalam ayat Alquran 56/77 yang berbunyi ‘Bahwa ini sesungguhnya Quran yang mulia’. Penyebutan istilah ‘Quran Mulia’ telah terang bertentangan dengan pembicaraan kita pada pokok kalimat pertama. Lalu istilah pemakaian Quran saja seperti yang dimuatkan pada maksud ayat 5/101, 6/19, 7/204 dan lainnya juga telah bertentangan dengan pokok pembicaraan kalimat kedua”.

Memang berisiko tatkala mencoba memainkan huruf—apalagi menghilangkannya—menjadi kata agar memiliki nilai yang cenderung lebih puitis maupun estetis. Persoalan kelewat tulis atau kurang baca sehuruf saja kerap berujung fatal. Pun pokok permasalahan istilah “Alquran” atau “Bacaan Mulia” diserahkan kembali kepada Jassin, seorang sastrawan cerdik yang musti melakukan banyak-banyak pertimbangan kembali dan perbaikan pada cetak ulang buku. Sekali lagi, di balik kepuitisan terjemahan Alquran, nyatanya Jassin mau tak mau musti menerima segala tudingan yang disematkan kepadanya.

Isvita Septi Wulandari, Esais dari Sukoharjo