Kepuitisan Jassin dan Dipo

Menerjemahkan kitab suci al-Qur’an berbahasa Arab ialah usaha mengetahui isi kandungan kitab sebagai pedoman dan petunjuk hidup yang telah diyakini. Maka, kerja penerjamahan mesti dapat menjelaskan makna yang akan mudah terpahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Upaya penerjemahan pada akhirnya dilakukan oleh banyak pihak.

Seperti disinggung Jassin dalam tulisan di majalah Budadja Djaja Nomor 90 Tahun Kedelapan November 1975, terjemahan Qur’an dalam bahasa Indonesia yang telah terbit di Indonesia di antaranya Qur’an Karim karya Mahmud Yunus (1938), Al-Furqan karya A. Hassan (1953) dan Al-Qur’an dan terjemahannya (1970) oleh Departemen Agama Republik Indonesia dan sebagainya. Ia pun berkata, “Semua terjemahan itu ditulis dalam bahasa prosa, hal mana tiada mengherankan karena yang dipentingkan oleh para penterjemah yang pada umumnya adalah guru-guru agama, ialah isi kandungan Kitab Suci itu. Juga disebabkan karena Qur’an sendiri secara visuil disusun sebagai prosa, meskipun sebenarnya bahasanya sangat puitis dan ayat-ayatnya dapat disusun sebagai puisi dalam pengertian sastra”.

Al-Qur’an memiliki nilai sastra yang perlu digali lebih dalam menjadi bentuk puisi. Penerjemah mesti mencari padanan atau sinonim kata dalam menerjemahkan tanpa sedikit pun mengubah atau mengurangi makna esensi yang terkandung. Maka tak lantas menjadi masalah saat kehendak mempuitisasikan Al-Qur’an dilakukan. Bahkan sebelum terbitnya terjemahan Alquranul Karim Bacaan Mulia, telah banyak para penyair yang mempuitisasikan terjemahan ayat-ayat Qur’an, seperti yang mula-mula telah dilakukan oleh Diponegoro, Syu’bah Asa, Ali Audah, Taufik Ismail, Ajip Rosidi dan lain-lain.

Pengakuan serupa juga dirasakan oleh Syu’bah Asa. Ia mengatakan bahwa terjemah Qur’an dengan berpegang pada puisi memang lebih indah dari yang tak mempertimbangkan unsur sastra. “Tetapi dalam hal ini harus juga dipertimbangkan Tafsir Al-Azhar Hamka, yang meskipun tidak bermaksud mengangkut secara maksimal keindahan sastra Qur’an tetapi membuktikan penulisnya memang selalu bagus dan jernih bahasanya” (Tempo, 5 Agustus 1978).

Syu’bah dalam tulisan berjudul Perbandingan Dua Terjemah itu menyajikan hasil terjemahan Jassin dan Mohammad Diponegoro. Ia membandingkan dengan mengambil salah satu hasil terjemahan puitis dari mereka dan memberi penilaian dengan mengulasnya dilihat dari penempatan dan pemakaian kata yang mereka gunakan, seperti Dipo yang  menggunakan kata bida-bida untuk menyebut gadis. Sekali lagi syu’bah hanya menyoroti kata yang dipakai oleh mereka. Sekali pun dapat dilihat dengan jelas, terjemahan Jassin lebih banyak membutuhkan ruang daripada Dipo yang tampak dari jumlah baris pada terjemahan di bawah ini. Namun, merekalah satrawan yang telah menengok betapa indah puitisasi al-Qur’an. Simaklah hasil terjemahan Jassin dan Dipo pada surat An-Naba berikut ini dan Anda boleh memberikan penilaian lebih lanjut:

Jassin: Sungguh, bagi orang yang takwa ada

tempat yang aman dan bahagia,

Kebun-kebun dan pohon anggur,

Gadis-gadis sebaya dengan buah dada

yang mekar

Dan piala penuh (berisi minuman)

Mereka tiada mendengar omongan

Kosong dan kebohongan di sana.

Dipo: Para pematuh patuh yang akan menuai

hasil

Taman-taman dan kebun anggur

Dan bida-bida muda sepadan

Dan piala kaca penuh minuman

Mereka tak mendengar omongkosong

atau dusta

Isvita Septi Wulandari, Esais asal Sukoharjo

Tinggalkan komentar