Kontroversi Makkah dalam Bacaan Mulia

Di antara terjemahan puitis Alquran, ada hal yang membuat orang geram dengan proses penerjemahan yang dilakukan Jassin. Jassin tak pernah singgah di Makkah! “Dalam hal inilah kita merasakan sangat menyesalkan, kenapa beliau tidak singgah menunaikan ibadah hajji di Mekkah sebagai ketentuan hukum yang tercantum dalam Alquran 3/97 buat manusia yang berkesanggupan melaksanakan ibadah itu walaupun atas nama “singgah” saja di tempat suci tersebut,” tulis Nazwar Syamsu dalam buku Koreksi Terjemahan Bacaan Mulia HB Jassin terbitan Pustaka Saadiyah Padang Panjang tahun 1978.

Nazwar Syamsu jelas mengajukan argumentasi teologis, menganggap Jassin lalai dengan  rukun Islam kelima dengan mengutip Alquran surat al-‘Imran ayat 97. Jassin mengakui dalam beberapa narasi yang ditulisnya perihal negara persinggahan, ruang meresapi kalimat suci dan menuliskan terjemah Alquran. Tercatat sejak 7 Oktober 1972 sampai 18 Desember 1974, kata-kata Ilahi berkeliling di tanah dingin Eropa. Jassin menulis dalam majalah Budaja Djaja No. 90 tahun kedelapan, November 1975, “Karena selalu dibawa ke mana-mana untuk mengerjakannya, tercatatlah berbagai kota tempat terjemahan pernah dilakukan seperti Amsterdam, Berlin, Paris, London, Antwerpen, Kuala Lumpur, Singapura, tetapi juga kampung-kampung kecil seperti Leiden, Zaandam, Reuver, Peperga, dan beberapa kali dalam perjalanan di kapal terbang”.

Kita bisa menyebut, negara-negara yang ditulis dalam catatan Jassin sebagai negara non-Muslim. Bahkan, sebagian orang akan berani menyebut negara telah beragama seperti julukan beberapa “negara Islam” dan lawannya, “negara kafir”. Maka, kekudusan ruang yang dipilih Jassin dalam menerjemahkan Alquran dianggap berisiko terhadap kerja penerjemahannya. Selain latar pendidikan Jassin yang dianggap kurang mendukung keahlian memahami Alquran juga cara Jassin menerjemahkan Alquan jauh dari tanah diturunkannya.

Menurut Nazwar dalam buku yang sama perihal beberapa tempat singgah dan tugas menerjemahkan kitab suci adalah “kelengahan Jassin sendiri dalam menunaikan kewajiban yang tercantum dalam karya yang ditulisnya sendiri. Kalau beliau menunaikan tugas itu rasanya akan hilanglah kecurigaan sementara orang tentang ketulusan Jassin dalam menterjemahkan Alquran secara puitis, tetapi mungkin beliau mempunyai alasan lain hingga tidak berkesempatan melakukan hajji tersebut. Memang setiap orang ada saja mengalami kekurangan dalam kesempatan dan kesanggupan dan tentunya Jassin tak luput dalam hal ini.”

Kita bisa menduga Jassin mengimani bahwa Tuhan ada di mana-mana. Tuhan tak hanya di Makkah. Setiap nafas kalimat suci dituliskan, saat itu pula Tuhan hadir. Tak ada sekat dirinya dengan Tuhan hanya karena ruang. Keimanan dirinya pada Tuhan dan kitab suci-Nya bukan karena dicipta oleh ruang tapi Jassin berusaha untuk mencipta ruang-ruang lain yang tidak sama dengan pendapat orang pada umumnya.

Mutimmatun Nadhifah, esainya dimuat di buku Penimba Bahasa (2017)

Persembahan Cinta Agung: Bacaan Mulia

Terjemahkan Alquran secara puitis menjadi bukti cinta Jassin yang dipersembahkan pada sang istri, meski ia telah pulang ke haribaan. Di malam kedelapan pasca-kematian sang istri, Jassin ingat, mendiang istrinya pernah menyatakan keinginan belajar sembahyang. Susah payah, kekasihnya itu belajar menghafal firman-firman Tuhan dan doa sembahyang. Ingatan menimbulkan rasa haru. Haru semakin berlipat saat Jassin mengenang pula sosok neneknya yang di kampung, dahulu, setiap hari membaca Alquran dengan alunan suara melagukan.

Dua perempuan memantik semangat dan alasan Jassin untuk tidak hanya sekadar membaca tetapi juga hendak meresapi isi kandungan Alquran melalui buku-buku terjemahan. Firman-firman Tuhan itu mengalir dan hanyut dalam setiap nafas, pikiran dan tindakan.

“Sampai tibalah suatu hari, hati saya terbuka untuk memulai menterjemahkan al-Qur’an, tanggal 7 Oktober 1972, di negeri dingin yang jauh dari khatulistiwa, yakni di negeri Belanda. Setahun di negeri itu dapatlah saya menterjemahkan separuh isi kandungan al-Qur’an dan sekembali di Indonesia lebih setahun pula mengerjakannya, alhamdulillah selesailah seluruh 30 Juz tanggal 18 Desember 1974 di Jakarta,” kata Jassin.

Penjelasan lebih lengkap dapat dinikmati di majalah kebudayaan Budaja Djajaedisi November 1975. Tepatnya pada tulisan Jassin yang berjudul Pengalaman Menterjemahkan Al-Qur’an Secara Puitis.Hadiah terjemahan Quran telah Jassin persembahkan meski sang cinta berada dalam alam berbeda sejak 12 Maret 1962.

Bacaan Mulia, bukti cinta Jassin kepada Tuhan sekaligus sang istri. Jassin percaya, keduanya bisa melihat ikhtiarnya di dunia. Penerjemahan Alquran pun digarap sebaik-baiknya. Simaklah ucapan terima kasih Jassin di pengantar Bacaan Mulia: “Sesudah tanggal 18 Desember 1974 saya selesai menterjemahkan Qur’an keseluruhannya, saya ketik baik-baik dan saya serahkan kepada penerbit Djambatan berangsur-angsur sampai lengkap 27 Agustus 1975”. Pembaca tertegun menyimak perjalanan cinta agung, puitis nan damai.

Dan berilah perempuan-perempuan

Mas kawinnya sebagai pemberian

yang ikhlas,

Tapi bila mereka sendiri

Dengan senang memberimu

sebagian daripadanya,

Maka (ambillah dan) makanlah

Untuk kaucernakan demi kesehatan.

Larik-larik di atas berasal dari terjemahan puitis firman Tuhan, An-Nisa’ ayat 4 di Bacaan Mulia (1978) garapan HB. Jassin. Terjemahan Alquran secara puitis oleh Jassin dipersembahkan bukan sebagai mas kawin, bersama seperangkat alat salat, emas, atau segepok uang tunai. Meski begitu, kita dapat merasakan suatu pemberian cinta yang agung dan abadi.

Isvita Septi Wulandari, Esais asal Sukoharjo

Bermula Asmara, Berujung Bacaan Mulia

Cinta itu bermula dari gemuruh serdadu Belanda tahun 1946. Seorang perempuan dari pinggiran kota Bogor pergi ke Jakarta. Di rumah Hans Bague Jassin, perempuan itu memberi sapa, menawarkan jasa mengurus rumah sekaligus perlindungan diri karena kota tak lagi aman. Namanya Arsiti, perempuan baik hati, membersihkan rumah si Tuan, merapikan buku yang berantakan, menyediakan makan dan jajanan dalam obrolan (tak) serius dari wartawan sampai sastrawan.

Kehadiran Arsiti memberi kelegaan bagi Jassin, laki-laki sibuk berkantor. Kebutuhan sehari-hari pun selalu terpenuhi berkat bantuan Arsiti. Kerelaan dan kebaikan Arsiti berujung pada kesepakatan untuk menikah. Beberapa tahun berlalu, kehadiran dua anak menjadi kesempurnaan doa berumah tangga.

arsiti-dan-hbj

Antara Imajinasi dan Hukum: Sebuah Roman Biografi H.B. Jassin (Darsjaf Rahman, 1986)

Tahun 1960-an, Arsiti harus ke dokter. Ada sakit yang dirasakan dalam perutnya. Di hadapan penyakit istri, suami ada dalam keresahan, bayang-bayang kebersamaan, kenangan cinta, keceriaan dua anak, juga dalam batas keraguan; kesembuhan atau kamatian. Dua kali masuk ke rumah sakit menjadi kelemahan dan kesedihan Jassin hingga suatu waktu, saat berada di rumah Jusuf Wibisono kabar kematian itu datang. Arsiti wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Sebelum ayat-ayat Tuhan dibacakan selama tujuh hari dalam peristiwa kematian, Jassin membisikkan doa dan permohonan maaf kepada istri tercinta. Dalam tulisan Darsjaf Rahman (1986: 127) tentang Arsiti dan Bacaan Mulia diberi judul Arsiti Penggerak Inspirasi untuk Menerjemahkan al-Qur’an. Judul tak puitis! Dalam judul kita tak menemukan imajinasi bahasa-bahasa sastra al-Qur’an yang dibaca Jassin, kita justru seperti dipertemukan dengan imajinasi biografi buruh: penggerak!

Duka membekuk Jassin pada saat itu. Keramaian suara orang membaca kalimat-kalimat Tuhan masih mengesankan kesendirian atau kebersamaan dengan Arsiti. Di antara kerinduan dan kesedihan, Jassin melanjutkan membaca al-Qur’an usai tujuh hari kematian istri. Di kesendirian, kata-kata dalam al-Qur’an seperti memanggil dirinya sekaligus menerjemahkannya secara puitis.

Dalam pengakuan dan ucapan terima kasih yang ditulis dalam pengantar Bacaan Mulia: “Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Maimunah Lutan, Direktis Penerbit Wijaya yang dalam masa kedukaan saya ditinggalkan isteri, menghadiahkan kepada saya sebuah Tafsir Quran terjemahan H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, yang ternyata menjadi hiburan dan salah satu terjemahan yang berguna bagi saya untuk menterjemahkan Quran secara puitis” dan “terima kasih kepada saudara Haji Kasim Mansur yang telah berbaik hati menghadiahkan kepada saya terjemahan dan tafsir Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an, yang kemudian memberi inspirasi kepada saya untuk menterjemahkan Quran secara puitis”. Akhirnya, kita tak hanya membaca al-Qur’an dan terjemahan puitis tapi juga membaca ketulusan Arsiti sebagai ibu dan istri bukan inspirasi lagi. []

Mutimmatun Nadhifah, esais.