Jassin Bukan Sastrawan

“Awam menyebutnya sastrawan, tapi ia tidak meninggalkan sepotong sajak atau bentuk cerita pendek atau sebuah novel yang dijadikan bahan pelajaran di lembaga-lembaga pendidikan kita,” ungkap Asrul Sani dalam H.B. Jassin: Tukang Kebun Pengarang dan Penyair (Gatra, edisi 25 Maret 2000).

Tampaknya sebutan sastrawan untuk Jassin menghadirkan masalah bagi Asrul. Hal ini bisa dianggap wajar, karena selama ini kita seolah bersepakat bahwa sastrawan adalah seseorang yang menulis dan menghasilkan karya sastra seperti puisi, cerita pendek dan novel. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sastrawan memiliki tiga arti yaitu: ahli sastra; pujangga, pengarang prosa dan puisi dan (orang) pandai-pandai, cerdik cendekia. Dari tiga arti tersebut arti kedua lebih banyak diamini dari pada arti pertama dan terakhir. Sastrawan itu penulis karya sastra! Dan Jassin bukan sastrawan.

Jika pun demikian makna sastrawan yang diinginkan Asrul harusnya Jassin masih bisa disebut sastrawan. Barangkali tokoh perfilman kenamaan itu tak ingat, Jassin sempat menulis beberapa cerpen dan sajak yang dimuat dalam beberapa majalah. Karya-karya tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1997. Buku berjudul Darah Laut itu diterbitkan untuk memperingati ulang tahun Jassin ke-80. Di buku, termuat 10 cerpen dan 15 sajak tulisan Jassin sendiri, yang dikarang dalam tiga masa, pra kemerdekaan, kemerdekaan, dan pasca kemerdekaan.

Kesepuluh cerpen Jassin memang tak terkesan kanonik, heroik sehingga tak banyak dikenal publik. Bahkan lembaga-lembaga pendidikan pun jarang yang mengetahui bahwa Jassin pernah menjadi seorang penulis cerita pendek. Ketidaktenaran Jassin sebagai sastrawan ini sebenarnya tak dikarenakan nasib cerpen saja. Tapi juga karena di Indonesia Jassin lebih dikenal sebagai kritikus sastra dari pada “mantan” sastrawan. Menggunakan istilah Asrul, Jassin lebih memilih sebagai “tukang kebun” pengarang dan penyair dari pada menjadi pengarang atau penyair.

Sebagai tukang kebun Jassin mesti rajin menyirami tanaman di kebunnya agar tetap hidup, segar dan berbuah yaitu dengan cara berkirim surat dengan para penulis. Surat tersebut bisa berisi ajakan untuk terus menulis, menyemangati atau mengomentari karya. Salah satu penulis yang mendapatkan kiriman surat dari Jassin adalah Pram. Surat berisi anjuran agar Pram rajin menulis cerita pendek dan mengirimkannya ke majalah yang diasuh Jassin. Bahkan ada beberapa surat yang dikirimkan ke penjara saat Pram ditahan.

Rutinitas ini menjadikan Jassin seolah hanya berada di balik ketenaran para sastrawan. Pram tentu lebih dikenal dibandingkan Jassin. Di kalangan mahasiswa, Pram dan karyanya seolah menjadi bacaan wajib. Sementara karya Jassin dalam bidang sastra sangat jarang atau bahkan tidak diketahui sama sekali. Di perpustakaan-perpustakaan pun kita akan jarang mendapati karya Jassin. Perpustakaan hanya memilih sastrawan-sastrawan terkenal. Dan jika kita nekat bertanya tentang keberadaan karya sastra Jassin, petugasnya pasti menjawab: Jassin itu bukan sastrawan.

Qibtiyatul Maisaroh, Esais asal Situbondo

Tinggalkan komentar