Sastra dan Kemiskinan

Kemiskinan tidak akan pernah lenyap! Para sastrawan salah satu pihak yang membuat kemiskinan terus ada dan abadi. Ini terlihat dari banyaknya karya sastra yang menjadikan kemiskinan sebagai keuntungan untuk mendapatkan perhatian pembaca: tangisan, obrolan, simpati dan ketagihan. Sekian orang menyebutnya sebagai bentuk kepedulian sastrawan terhadap keadaan masyarakat miskin. Jassin baragkali dapat dimasukkan dalam bagian ini. Karena dalam cerpen-cerpennya narasi sendu kemiskinan dan kemelaratan tampak dominan. Meskipun tak seheroik seperti pengkisahan Pram dan tokoh Lekra.

Kita bisa simak kisah kemiskinan dalam cerpen berjudul Antara Si Lemah. Cerpen berkisah tentang seorang tukang sapu di pasar yang membutuhkan uang untuk membelikan obat anaknya. Kebingunan ini juga terjerat aturan bahwa ia tak boleh meminjam uang kepada para pedagang di pasar. “Beberapa hari kemudian, ada malam hari si Maman datang ke rumah menteri pasar. Anaknya sudah meninggal. “Alhamdulillah” katanya. Istrinya akan disuruhnya pulang ke udik dahulu, sampai ia mendapatkan pekerjaan lagi. Selama itu ia akan tinggal menumpang di rumah seorang kenalannya.

Persoalan keluarga kerap menjadi sasaran kemirisan korban kemiskinan. Kemiskinan membuatnya terpisah dengan keluarga: anak yang meninggal dan istri yang dikirim pulang ke kampung halaman. Cerpen ini dimuat dalam Poedjangga Baroe, No. 2 TH. IX pada 2 Agustus 1941. Sulit kiranya berkisah kemiskinan di saat Indonesia berada dalam situasi penjajahan. Terlebih untuk cerpen yang akan dikirimkan ke media. Jassin membuat anak korban kemiskinan mati karena telah berobat, bukan mati karena kelaparan hal yang sangat mungkin terjadi saat cerpen ini ditulis.

Berbeda dengan cerpen yang ditulis pada dua tahun sebelumnya. Bahasa-bahasa yang digunakan Jassin cukup kasar dan heroik. Dalam cerpen berjudul Nasib Volontair kita simak: Terasa olehku betapa bodoh rakyat jelata itu. Mereka harus dipimpin lagi. Hampir segala perdagangan berada di dalam tangan bangsa asing: orang Tionghoa, Arab, dan Belanda. Perusahaan yang agak berarti merekalah yang punya. Alangkah miskinnya rakyatku!

Jassin menyadari kemiskinan yang dirasakan oleh rakyat Indonesia. Tapi baginya kemiskinan rakyat adalah ganjaran dari kebodohan mereka. Artinya jika mereka tidak bodoh tentu tidak akan miskin. Jassin tidak sampai pada pengungkapan apa yang membuat rakyat Indonesia bodoh. Kolonialisasi seolah hanya salah satu bentuk dari dampak kebodohan rakyat. Penghadiran bangsa Tionghoa, dan Arab untuk melengkapi bangsa Belanda seolah sebagai penyamaan hak antar bangsa asing.

Pembaca dapat mengerti bahwa pada 1939 (tahun ditulisnya cerpen) Jassin sedang bekerja di Kantor Asisten Residen di Gorontalo dan di Balai Pustaka pada 1940-1947. Kedua tempat kerja Jassin tersebut tentu cukup berpengaruh pada karya-karya Jassin. Sekalipun dalam pengantar buku Darah Laut Sapardi Djoko Damono mengatakan: Cerpen H.B. Jassin rupanya ditulis berdasarkan maksud yang lugas saja, yakni keinginan untuk mencatat dan sedikit memberi komentar tentang apa yang terjadi di sekitarnya. Dan bagi Jassin kemiskinan penting untuk dicatat.

Pencatatan ini juga berlanjut sampai saat Jassin tak lagi menulis karya sastra, tapi ia menyelipkan narasi kemiskinan dalam pengantar karya sastra: Kemiskinan itu berlaku untuk manusia tapi hewan pun harus menanggung akibatnya. Sekiranja keadaan ekonomi masjarakat lebih baik, pastilah kita akan lebih kaja dengan penerbitan buku-buku, tapi waktunja belum terlambat untuk mengumpulkan hasil-hasil jang tersebar dalam sekian banjak madjalah. (H.B. Jassin, Angkatan ’66 Prosa dan Puisi, 1968:xiv). Sungguh bahkan dalam kata pengantar pun, sastra tak luput dari kemuiskinan.

Qibtiyatul Maisaroh, Esais asal Situbondo

Jassin Bukan Sastrawan

“Awam menyebutnya sastrawan, tapi ia tidak meninggalkan sepotong sajak atau bentuk cerita pendek atau sebuah novel yang dijadikan bahan pelajaran di lembaga-lembaga pendidikan kita,” ungkap Asrul Sani dalam H.B. Jassin: Tukang Kebun Pengarang dan Penyair (Gatra, edisi 25 Maret 2000).

Tampaknya sebutan sastrawan untuk Jassin menghadirkan masalah bagi Asrul. Hal ini bisa dianggap wajar, karena selama ini kita seolah bersepakat bahwa sastrawan adalah seseorang yang menulis dan menghasilkan karya sastra seperti puisi, cerita pendek dan novel. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sastrawan memiliki tiga arti yaitu: ahli sastra; pujangga, pengarang prosa dan puisi dan (orang) pandai-pandai, cerdik cendekia. Dari tiga arti tersebut arti kedua lebih banyak diamini dari pada arti pertama dan terakhir. Sastrawan itu penulis karya sastra! Dan Jassin bukan sastrawan.

Jika pun demikian makna sastrawan yang diinginkan Asrul harusnya Jassin masih bisa disebut sastrawan. Barangkali tokoh perfilman kenamaan itu tak ingat, Jassin sempat menulis beberapa cerpen dan sajak yang dimuat dalam beberapa majalah. Karya-karya tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1997. Buku berjudul Darah Laut itu diterbitkan untuk memperingati ulang tahun Jassin ke-80. Di buku, termuat 10 cerpen dan 15 sajak tulisan Jassin sendiri, yang dikarang dalam tiga masa, pra kemerdekaan, kemerdekaan, dan pasca kemerdekaan.

Kesepuluh cerpen Jassin memang tak terkesan kanonik, heroik sehingga tak banyak dikenal publik. Bahkan lembaga-lembaga pendidikan pun jarang yang mengetahui bahwa Jassin pernah menjadi seorang penulis cerita pendek. Ketidaktenaran Jassin sebagai sastrawan ini sebenarnya tak dikarenakan nasib cerpen saja. Tapi juga karena di Indonesia Jassin lebih dikenal sebagai kritikus sastra dari pada “mantan” sastrawan. Menggunakan istilah Asrul, Jassin lebih memilih sebagai “tukang kebun” pengarang dan penyair dari pada menjadi pengarang atau penyair.

Sebagai tukang kebun Jassin mesti rajin menyirami tanaman di kebunnya agar tetap hidup, segar dan berbuah yaitu dengan cara berkirim surat dengan para penulis. Surat tersebut bisa berisi ajakan untuk terus menulis, menyemangati atau mengomentari karya. Salah satu penulis yang mendapatkan kiriman surat dari Jassin adalah Pram. Surat berisi anjuran agar Pram rajin menulis cerita pendek dan mengirimkannya ke majalah yang diasuh Jassin. Bahkan ada beberapa surat yang dikirimkan ke penjara saat Pram ditahan.

Rutinitas ini menjadikan Jassin seolah hanya berada di balik ketenaran para sastrawan. Pram tentu lebih dikenal dibandingkan Jassin. Di kalangan mahasiswa, Pram dan karyanya seolah menjadi bacaan wajib. Sementara karya Jassin dalam bidang sastra sangat jarang atau bahkan tidak diketahui sama sekali. Di perpustakaan-perpustakaan pun kita akan jarang mendapati karya Jassin. Perpustakaan hanya memilih sastrawan-sastrawan terkenal. Dan jika kita nekat bertanya tentang keberadaan karya sastra Jassin, petugasnya pasti menjawab: Jassin itu bukan sastrawan.

Qibtiyatul Maisaroh, Esais asal Situbondo